BANTEN | Jika serius ingin jadi jurnalis harus banyak membaca agar bisa banyak menulis. Karena menulis itu — apapun jenis lelamknnya ; artikel, reportase, feutures apalagi investiigatif reporting — kunci utamanya tetap harus banyak membaca apa saja, sehingga benar-benat pandai mulai dari teknik melakukan hingga mengidentifikasi masalah.
Ajaran dari kitab suci pun mengatakan begitu. Iqra bismirab bikalladi khoĺaq… dan seterusnya. Bukan cuma bisa membaca al kitab itu, tapi juga teŕmasuk semua yang ada di luar ak kitab.
Jadi membaca itu menjadi kunci untuk banyak hal yang berpaut dengan kerja jurnalistik atau tulis menilis yang tak mungkin habis selama gairah dan semangat membaca belum padam.
Dalam khazanah spiritual ada yang disebut bahasa bumi, bisikan angin, isyarat langit bahkan bahasa tubuh atau diri kita sendiri yang acap kurang dihiraukan seperti unjuk rasa buruh yang meberiakkan tuntutannya.
Maka itu ketika.meliput aksi buruh, kita pun harus pandai membaca apa saja yang ada dibaĺik berita atau aksi yang diusung oleh kaum buruh itu yang sesungguhnya.
Boleh jadi aksi unjuk rasa buruh itu sekedar kamuflase saja untuk mengungkap hal yang lebih besar dari apa yabg ditampilkan sekarang.
Begitulah sekikas sehingga sudut pemberitaan pun pasti berbeda dan memiliki nilai lebih, meski obyek utama beritanya sama yang ditulis oleh jurnalis yang lain. Sehingga persaingan dalam pemuatan berita pun bisa lebih sehat dan lebih baìk untuk memperkaya pemahaman pembaca yang bisa memahami pemberitaan itu dari berbagai perspektif.
Kekayaan dalam pengertian literatur pun karena kemampuan dan kepiawaian membac juga. Khazanah dari kekayaan bahasa pun disebabkan oleh kegemaran mengembara di pustaka jagat yang tak berbatas kepustaan kònvensional belaka. Pengalanan empirik bersama petani dan nelayan bisa menjadi arsip yang bagus bila ditata sedemikian rupa hingga sebagian diantaranya bisa diingat di dalam kepala.
Maka dengan bekal bacaan yang cukup pun kesulitan menulis — apapun bentuknya yang dìinginkan — akan sangat mudah diwujudkan sebagai karya jurnalistik mapun artikel pribadi atau makalah ilmìah yang akademik sifatnya.
Oleh karena itu, bagi mereka yang memiliki khazanah kepustakaan yang banyak tidak akan pernah kehabisan ide bahkan waktu. Karena dimensi waktu dalam konteks tulis menulis — utamanya bagi pekerja pers atau jurnalis — waktu terkadang menjadi faktor penentu yàng dari nilai karya tulis tersebut.
Pada poloknya, untuk memjadi jurnalis yang handal dan tangguh dengan cara mempersakti diri membaca sebangak-banyak mungkin dari pada banyak makan atau minum kopì. Sebab hanya ďengan banyak membaça kita pasti bisa banyak menulis. Dan dengan banyak menulis kita bisa banyak banyak dan banyak ngopi.
Àrtinya, jangan pernah bermimpi bisa banyak menulis jika tidak banyak membaca.
Karena orang yang bisa banyaķ menulis karena sudah bosan membaca. Dan orang yang suka membacara pasti terangsang untuk menulis. Bedanya, membaca itu hanya bermuara di kepala kita sendiri, tapi menulis itu muaranya bisa di kepala banyak orang.
Inilah kemuliaan seorang penulis. Karena, karena tidak cuma membaca karya orang lain saja, tapi juga membaca dan menikmati karya dan mencercapi hasilnya juga.
Sebagai gizi suplemen, letakkanlah semangat menulis itu sebagai kesaksian sekaligus menandai bahwa kita pernah hidup dan senantiasa ingin berbuat baik untuk orang banyak. Karena sikap kita jelas dan tegas bepihak kepada siapa saja yang dizolimi dan teraniaya.
JE | Banten Timur, 5 Desember 2021
* Paparan ini merupakan bagian dari sejumlah materi pelatihan Jurnalis Terpakai yang diselenggarakan Komunitas Buruh Indonesia (KBI) kerjasama dengan Atlantika Institut Nusantara (AIN) dengan Jurnalis Banten Timur dan Tangerang di Tangerang, 5 Desember 2021.
Komentar